Kamis, 05 April 2012

Drummer dan Mahasiswa Multitalenta tanpa Dua Tangan dan Satu Kaki Dalam Motivasi Jiwa



Mungkin kita baru mendengar ada seseorang yang cacat fisik tapi memiliki kemampuan. Pasti dalam benak kita hanya terpikir kalau orang cacat tidak bisa melakukan selayaknya orang yang normal. Tapi ini merupakan kisah nyata orang cacat yang memiliki multitalenta seperti orang normal yang lain. Ini merupakan sekaligus membuktikan bahwa Tuhan yang menciptakan alam dengan berbuat adil, tanpa harus memandang cacat, normal, pintar, dan bodoh. Ini merupakan kisah dari seseorang yang cacat fisik.
Seorang pemuda laki-laki yang bernama Cornel Hrisca-Munn, dia lahir pada tahun 1992 di Rumania. Sebenarnya, Cornel Hrisca-Munn adalah seorang pria yang memiliki wajah tampan, berkulit kuning. Namun, sayangnya Cornel Hrisca-Munn terlahir sebagai orang yang cacat. Dia tidak memiliki kedua tangan, dan salah satu kakinya terserang penyakit polio, sehingga selain sulit beraktivitas dengan kekuatan tangan, dia juga sulit menggerakan kakinya karna terserang penyakit polio.
Cornel Hrisca-Munn adalah anak yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Karna, dia terbuang dari kelurganya dari kecil. Dia tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tua kandungnya. Sebab, ibunya membuang Cornel Hrisca-Munn di depan sebuah panti asuhan di kota Suceava. Mungkin selain kemiskinan yang terjadi pada keluarganya, keadaan cacat fisik secara total menjadi alasan utama orang tua kandungnya melantarkannya.
          Tapi setalah ibu kandungnya Cornel Hrisca-Munn meninggalkannya di depan panti asuhan, ada pasangan suami istri yang mengunjungi panti asuhan tempat Cornel Hrisca-Munn tinggal. Pasangan tersebut bernama Ken dan Doreen Munn. Tujuan suami istri ini berkunjung ke panti asuhan tersebut adalah ingin mencari bayi mungil untuk di adopsi. Saat mereka melihat Cornel Hrisca-Munn tergolek di atas ranjang kecilnya suami istri itu pun tertarik untuk mengadopsinya sebagai anak mereka. Mereka sadar bahwa Cornel Hrisca-Munn memang cacat fisik namun bayi mungil itu terlihat periang, sehat dan lucu. 
      Setelah Ken dan Doreen Munn mengadopsi Cornel Hrisca-Munn, mereka memeriksa kesehatan fisik anak adopsinya yang diagnosis dokter ternyata salah satu kaki Cornel Hrisca-Munn mengalami penyakit polio yang angkut. Maka dokter bedah yang menanganinya memutuskan untuk mengamputasi kakinya. Ini merupakan tindakan yang terbaik untuk masa depan Cornel Hrisca-Munn.
            Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki Cornel Hrisca-Munn, tidak ada pilihan bagi Ken dan Doreen Munn selain memotivasikan jiwa Cornel Hrisca-Munn. Mereka berambisi untuk mencerahkan masa depannya. Walaupun dia anak yang cacat, tapi pikiran dan mentalnya tidak boleh cacat. Menurut orang tuanya Cornel Hrisca-Munn, orang-orang yang tidak pernah sukses atau sulit mencapai kesuksesan, disebabkan mereka banyak mencari alasan untuk berbuat dan dalam mengambil resiko. Sebaliknya, orang yang mudah mencapai kesuksesan dalam segala aktivitasnya adalah orang yang tidak pernah mencari alasan dalam berbuat, sebesar apa pun resikonya.
            Sang ayah menyuruhnya untuk belajar memainkan alat musik. Alat musik yang dipilih adalah drum. Teman-teman Cornel Hrisca-Munn yang mendengar ayahnya menyuruh belajar drum justru menertawakannya. Menurut mereka, Cornel Hrisca-Munn ialah orang cacat yang tidak mempunyai tangan dan satu kaki, jadi tidak mungkin bisa bermain drum. Sebab, semua pemain drum pasti memiliki tangan karena harus memegang alat pukul, dan punya kaki lengkap karena kaki juga untu menabuh.
            Tanpa berpikir panjang, Cornel Hrisca-Munn pun mulai belajar bermain drum. Melihat tekad yang mulai terlihat, ayahnya membelikan satu set alat drum untuk memudahkannya belajar di rumah. Ayahnya juga mendatangkan pelatih khusus yang setiap saat dapat mengajarinya bermain drum di rumah. Supaya bisa memukul drum, maka dibuatlah alat khusus terbuat dari karet yang diletakkan di ujung sisa lengan Cornel Hrisca-Munn, sehingga dia dapat memegang stik drum dan gurunya melatihnya dengan kaki kiri untuk memukul bass drum menggunakan pedal yang di taruh di bawah. Biasanya, pemain drum menginjak pedal untuk memukul bass dengan kaki kanan.
Dan hasilnya sangat luar biasa membuat takjub orang-orang di sekelilingnya. Meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya dia bisa menjadi pemain drum yang andal untuk ukuran anak-anak seusianya dan dia mampu menjadi seorang superstar. Dia memiliki band bersama teman-teman seusianya. Dan akhirnya ia dengan grup bandnya terkenal sampai Negara Eropa.
Cornel Hrisca-Munn pun bisa di anggap pintar, karna ia bisa diterima didalam perguruan tinggi paling berpengaruh di inggris Oxford University, walaupun dirinya memiliki keterbatasan fisik. Bagi kedua orang angkatnya, Cornel Hrisca-Munn adalah anak istimewa. Walupun dia bukan anak kandung mereka.
Ini merupakan cerita pengalaman Cornel Hrisca-Munn yang mengalami cacat fisik, tapi ia memiliki talenta yang begitu membuat orang lain takjub pada Cornel Hrisca-Munn. Mungkin kalau kita di posisi Cornel Hrisca-Munn, pasti tidak percaya diri dengan kondisi fisik tersebut. Kecacatan bagi sebagian orang merupakan suatu masalah yang berat serta dapat menghambat cita-cita dan aktivitas. Permasalahan yang dihadapi penyandang cacat bukan hanya masalah psikologis seperti rendah diri, merasa tidak mampu dan tidak berdaya, menutup diri dan tidak percaya diri untuk bergaul.
            Penyandang cacat fisik pada dasarnya memiliki kesempatan untuk bekerja seperti halnya orang normal. Dalam Undang– Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pada Bab IV pasal 9 yang berbunyi “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Pasal 13 yang berbunyi “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajad kecacatannya.” Dalam Undang–Undang tersebut jelaslah bahwa kesempatan untuk bekerja bagi penyandang cacat sama dengan orang normal lainnya.
            Johnson (1990:47), mengungkapkan bahwa masalah sosial utama yang dihadapi penyandang cacat adalah bahwa mereka abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya. Lingkungan sekitar telah memberikan stigma kepada penyandang cacat, bahwa mereka dipandang tidak mampu dalam segala hal merupakan penyebab dari berbagai masalah di atas.
            Adam dan Soifer dalam Browne (1982 :49) mengemukakan adanya berbagai kebutuhan dari penyandang cacat dan keluarganya. Penyandang cacat membutuhkan dukungan emosional, kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan perilaku, secara bertahap supaya mendapatkan kembali pengetahuan mengenai pengendalian diri dan emosional yang terdapat pada individu.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Waid. 2011. Jangan Takut Karena Cacat. Jogjakarta: Diva Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar