Mungkin kita baru
mendengar ada seseorang yang cacat fisik tapi memiliki kemampuan. Pasti dalam
benak kita hanya terpikir kalau orang cacat tidak bisa melakukan selayaknya
orang yang normal. Tapi ini merupakan kisah nyata orang cacat yang memiliki
multitalenta seperti orang normal yang lain. Ini merupakan sekaligus
membuktikan bahwa Tuhan yang menciptakan alam dengan berbuat adil, tanpa harus
memandang cacat, normal, pintar, dan bodoh. Ini merupakan kisah dari seseorang
yang cacat fisik.
Seorang pemuda
laki-laki yang bernama Cornel Hrisca-Munn, dia lahir pada tahun 1992 di
Rumania. Sebenarnya, Cornel Hrisca-Munn adalah seorang pria yang memiliki wajah
tampan, berkulit kuning. Namun, sayangnya Cornel Hrisca-Munn terlahir sebagai
orang yang cacat. Dia tidak memiliki kedua tangan, dan salah satu kakinya
terserang penyakit polio, sehingga selain sulit beraktivitas dengan kekuatan
tangan, dia juga sulit menggerakan kakinya karna terserang penyakit polio.
Cornel Hrisca-Munn
adalah anak yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Karna, dia terbuang dari kelurganya dari kecil. Dia tidak pernah mengetahui
siapa kedua orang tua kandungnya. Sebab, ibunya membuang Cornel Hrisca-Munn di
depan sebuah panti asuhan di kota Suceava. Mungkin selain kemiskinan yang
terjadi pada keluarganya, keadaan cacat fisik secara total menjadi alasan utama
orang tua kandungnya melantarkannya.
Tapi
setalah ibu kandungnya Cornel Hrisca-Munn meninggalkannya di depan panti
asuhan, ada pasangan suami istri yang mengunjungi panti asuhan tempat Cornel
Hrisca-Munn tinggal. Pasangan tersebut bernama Ken dan Doreen Munn. Tujuan
suami istri ini berkunjung ke panti asuhan tersebut adalah ingin mencari bayi
mungil untuk di adopsi. Saat mereka melihat Cornel Hrisca-Munn tergolek di atas
ranjang kecilnya suami istri itu pun tertarik untuk mengadopsinya sebagai anak
mereka. Mereka sadar bahwa Cornel Hrisca-Munn memang cacat fisik namun bayi
mungil itu terlihat periang, sehat dan lucu.
Setelah
Ken dan Doreen Munn mengadopsi Cornel Hrisca-Munn, mereka memeriksa kesehatan
fisik anak adopsinya yang diagnosis dokter ternyata salah satu kaki Cornel
Hrisca-Munn mengalami penyakit polio yang angkut. Maka dokter bedah yang
menanganinya memutuskan untuk mengamputasi kakinya. Ini merupakan tindakan yang
terbaik untuk masa depan Cornel Hrisca-Munn.
Dengan
keterbatasan fisik yang dimiliki Cornel Hrisca-Munn, tidak ada pilihan bagi Ken
dan Doreen Munn selain memotivasikan jiwa Cornel Hrisca-Munn. Mereka berambisi
untuk mencerahkan masa depannya. Walaupun dia anak yang cacat, tapi pikiran dan
mentalnya tidak boleh cacat. Menurut orang tuanya Cornel Hrisca-Munn, orang-orang
yang tidak pernah sukses atau sulit mencapai kesuksesan, disebabkan mereka
banyak mencari alasan untuk berbuat dan dalam mengambil resiko. Sebaliknya,
orang yang mudah mencapai kesuksesan dalam segala aktivitasnya adalah orang
yang tidak pernah mencari alasan dalam berbuat, sebesar apa pun resikonya.
Sang
ayah menyuruhnya untuk belajar memainkan alat musik. Alat musik yang dipilih
adalah drum. Teman-teman Cornel Hrisca-Munn yang mendengar ayahnya menyuruh
belajar drum justru menertawakannya. Menurut mereka, Cornel Hrisca-Munn ialah
orang cacat yang tidak mempunyai tangan dan satu kaki, jadi tidak mungkin bisa
bermain drum. Sebab, semua pemain drum pasti memiliki tangan karena harus memegang
alat pukul, dan punya kaki lengkap karena kaki juga untu menabuh.
Tanpa
berpikir panjang, Cornel Hrisca-Munn pun mulai belajar bermain drum. Melihat tekad
yang mulai terlihat, ayahnya membelikan satu set alat drum untuk memudahkannya
belajar di rumah. Ayahnya juga mendatangkan pelatih khusus yang setiap saat
dapat mengajarinya bermain drum di rumah. Supaya bisa memukul drum, maka
dibuatlah alat khusus terbuat dari karet yang diletakkan di ujung sisa lengan Cornel
Hrisca-Munn, sehingga dia dapat memegang stik drum dan gurunya melatihnya
dengan kaki kiri untuk memukul bass drum menggunakan pedal yang di taruh di
bawah. Biasanya, pemain drum menginjak pedal untuk memukul bass dengan kaki
kanan.
Dan hasilnya sangat luar
biasa membuat takjub orang-orang di sekelilingnya. Meskipun membutuhkan waktu
yang cukup lama, akhirnya dia bisa menjadi pemain drum yang andal untuk ukuran
anak-anak seusianya dan dia mampu menjadi seorang superstar. Dia memiliki band
bersama teman-teman seusianya. Dan akhirnya ia dengan grup bandnya terkenal
sampai Negara Eropa.
Cornel Hrisca-Munn pun
bisa di anggap pintar, karna ia bisa diterima didalam perguruan tinggi paling
berpengaruh di inggris Oxford University, walaupun dirinya memiliki
keterbatasan fisik. Bagi kedua orang angkatnya, Cornel Hrisca-Munn adalah anak
istimewa. Walupun dia bukan anak kandung mereka.
Ini merupakan cerita pengalaman Cornel Hrisca-Munn
yang mengalami cacat fisik, tapi ia memiliki talenta yang begitu membuat orang
lain takjub pada Cornel Hrisca-Munn. Mungkin kalau kita di posisi Cornel
Hrisca-Munn, pasti tidak percaya diri dengan kondisi fisik tersebut. Kecacatan
bagi sebagian orang merupakan suatu masalah yang berat serta dapat menghambat
cita-cita dan aktivitas. Permasalahan yang dihadapi penyandang cacat bukan
hanya masalah psikologis seperti rendah diri, merasa tidak mampu dan tidak
berdaya, menutup diri dan tidak percaya diri untuk bergaul.
Penyandang cacat fisik pada dasarnya
memiliki kesempatan untuk bekerja seperti halnya orang normal. Dalam Undang–
Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, pada Bab
IV pasal 9 yang berbunyi “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Pasal 13
yang berbunyi “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajad kecacatannya.”
Dalam Undang–Undang tersebut jelaslah bahwa kesempatan untuk bekerja bagi
penyandang cacat sama dengan orang normal lainnya.
Johnson (1990:47), mengungkapkan
bahwa masalah sosial utama yang dihadapi penyandang cacat adalah bahwa mereka
abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain tidak
merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya. Lingkungan sekitar telah
memberikan stigma kepada penyandang cacat, bahwa mereka dipandang tidak mampu
dalam segala hal merupakan penyebab dari berbagai masalah di atas.
Adam dan Soifer dalam Browne (1982
:49) mengemukakan adanya berbagai kebutuhan dari penyandang cacat dan
keluarganya. Penyandang cacat membutuhkan dukungan emosional, kesempatan untuk
mengungkapkan perasaan dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan perilaku,
secara bertahap supaya mendapatkan kembali pengetahuan mengenai pengendalian
diri dan emosional yang terdapat pada individu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Waid. 2011. Jangan Takut Karena Cacat. Jogjakarta:
Diva Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar